Monday, March 23, 2015

Ketika Jemari Kaum Papa Mengetuk !

Di persimpangan jalan terutama di kota besar seperti Jakarta, banyak kita temui ‘kaum’ yang kita sering kategorikan sebagai kaum duafa, pengemis atau nama nama lain dengan pengertian orang orang yang kurang beruntung . Ada yang masih anak anak usia sekolah, Ibu-ibu yang (biasanya) sengaja memamerkan anak bayi-nya yang digendong, pengemis yang sudah tua atau yg cacat jasmani.  Banyak diantara kita yang secepatnya membuang muka , didalam a/c mobil kita yang dingin, dan pura pura tidak melihat kehadiran mereka. Ada yang langsung “dadah-dadah”, bahasa isyarat yang artinya bukan menyapa tapi “tidak, saya tidak mau memberi” atau “tidak, saya tidak ada uang”. Ada lagi yang frontal, menghardik kehadiran mereka karena keasikan BBM pada saat macet atau sedang menunggu di traffic light terganggu oleh mereka.

Kenapa? Manusiawi.
Karena sebagian (besar) masyarakat berpendapat bahwa mereka adalah golongan yang tidak mau berusaha. Tidak mau capek2 cari uang seperti kita kita ini , malas gak mau usaha. Sebagian lagi berpendapat dengan memberi sebetulnya kita bukan membantu tapi justru memberikan penyakit malas itu kepada mereka. Ada juga yang sempat memberikan pendapatnya kepada saya pada saat itu : “Hei, mereka itu terorganisir ! Pendapatan mereka jauh lebih besar dari rata rata orang pada umumnya ! Ngapain juga di kasih ! ” Dan segala macam teori konspirasi lainnya yang berujung pada : TIDAK UNTUK PENGEMIS JALANAN ! Kalo mau amal, ya lewat badan amal yang benar, dan lain sebagainya.
Trus kapan kita akan mulai beramal? Apakah hati ini harus terketuk untuk beramal hanya setelah kita pelajari profil orang yang mau kita bantu itu?  Disini ada pergeseran nilai keikhlasan dalam arti kata sebenarnya.

Ada seorang Ulama yang pernah berpesan pada saya, bahwa jangan pernah segan untuk beramal, dan selalu khusnudzon dengan semua orang. Insya Allah semuanya akan menjadi lebih baik.
Saya, seorang dengan pemahaman agama yang masih kurang, tentu saja tidak sependapat dengan Ulama tersebut.
Ada pula Bapak saya sendiri , dengan sistem demokrasinya di keluarga kami pernah berpesan kepada saya : ” Mas, pada saat kamu selalu curiga dengan orang, dan tidak bisa percaya dengan orang, maka pada saat itu kamu harus bertanya pada diri kamu sendiri: apakah kamu orang yang bisa di percaya.” -

Tapi sampai dengan saat ini, Bapak tetap berpegang dengan prinsip itu, dan Alhamdulillah, Beliau menjalani hidup dengan tenang karena sikap hidup yang telah Beliau pilih tersebut.
Saya, si anak yang pada saat itu baru saja lulus sekolah, ngerasa sudah paling pintar sendiri menghadapi dunia yang menurut saya “sudah berubah banyak dibandingkan dengan masa Bapak dulu”, tentu saja tidak setuju dengan pandangan hidup Bapak saya.
Kesimpulannya ? Polemik apakah kita akan beramal atau tidak, ketika jemari kaum papa itu mengetuk kaca? Apakah kita akan tulus, ikhlas segera mengeluarkan beberapa rupiah tanpa berusaha menjadi seseorang yang apatis, atau bahkan psikolog wannabe yang berusaha mendalami kehidupan seseorang dalam beberapa detik, hanya dengan satu tujuan : kebaikan dalam beramal.

Atau

Apakah kita masih akan acuh, pura pura tidak melihat, apatis, frontal untuk menghadapi ketukan di kaca kita? Atau pada saat apapun orang membutuhkan pertolongan kita?
khusnudzon , adalah kata kuncinya. Selalu berpikiran baik kepada orang lain. APAPUN hasil akhir yang nantinya kita terima.

Sumber :
http://filsafat.kompasiana.com/2011/09/20/polemik-ketika-akan-beramal-ketika-jemari-kaum-papa-mengetuk-kaca-395084.html

No comments:

Post a Comment